Nggak usah ngomongin politik dulu, yuk. Kita bahas sesuatu yang lagi ramai banget di medsos—TikTok! Media sosial yang dulunya cuma buat hiburan, sekarang malah jadi ‘panggung’ buat siapa aja, termasuk petani. Iya, petani! Mereka yang dulu akrab dengan cangkul, sekarang nggak kalah semangat bikin konten seru demi ‘duit gampang’. Kalau dilihat sepintas, kayaknya ini cuma tren lucu-lucuan. Tapi, sebenernya ada yang lebih dalam dari sekadar joget-joget—apalagi kalau pemerintah nggak tanggap dan cuma bilang, “Apa salahnya, sih?” Salah besar kalau cuma dipandang sebelah mata.
Gempuran Teknologi, Siap Nggak?
Dulu mungkin kita nggak pernah nyangka petani bakal ‘kecanduan’ TikTok. Tapi sekarang, dengan gampangnya akses teknologi, siapa aja bisa jadi konten kreator. Masalahnya, teknologi ini nggak datang bareng edukasi. Yang penting, asal ada smartphone dan koneksi internet, jadi deh influencer dadakan! TikTok sekarang jadi ladang ‘cepat kaya’ lewat konten-konten yang sederhana. Tapi, apa jadinya kalau banyak petani lebih fokus jadi seleb TikTok daripada ngerjain ladangnya? Ini bukan soal joget-jogetnya aja, tapi jadi tanda bahaya. Jangan-jangan, mereka banting setir ke TikTok karena merasa bertani nggak ngasih penghasilan yang cukup menjanjikan.
Kalau profesi bertani emang udah bikin mereka nyaman, apakah mungkin mereka rela ninggalin sawah cuma buat ngejar ‘like’ dan ‘view’ di TikTok? Jawabannya jelas kelihatan. Kondisi ini sebenarnya sinyal keras buat pemerintah kalau profesi petani butuh sentuhan yang lebih serius, bukan cuma bantuan subsidi yang kadang nggak tepat sasaran. Kesejahteraan petani itu kunci. Kalau ini nggak diubah, jangan heran kalau makin banyak petani muda yang banting setir jadi influencer.
Mimpi Besar Pemerintah vs Realita di Lapangan
Pemerintah punya rencana besar nih—katanya mau bikin satu juta hektar sawah baru di Papua buat ketahanan pangan. Cukup ambisius, apalagi rencana ini bisa aja ganggu hutan lindung dan lahan adat. Tapi ya, gimana bisa tercapai kalau para petani malah lebih betah di depan kamera daripada di sawah? Bikin sawah doang nggak cukup, bos! Kalau petani masih susah dapet penghasilan yang layak, nggak akan ada yang mau balik ke ladang. Butuh perubahan nyata yang menyentuh kehidupan mereka di lapangan.
Bayangin deh, kalau pemerintah bisa hadir bukan cuma lewat subsidi yang cuma sementara, tapi dengan strategi yang bikin bertani itu berasa keren dan menguntungkan. Nggak usah ngasih tunjangan besar-besaran, cukup kasih akses pasar yang oke, pelatihan cara bertani yang lebih modern, atau program untuk tingkatin produktivitas panen. Kalau mereka bisa merasain langsung hasil dari bantuan ini, pandangan kalau bertani itu “kurang menjanjikan” bisa berubah, kan?
Belajar dari China dan Jepang
Coba lihat China dan Jepang. Di sana, anak-anak muda mulai tertarik buat balik ke sawah. Nggak cuma bertani secara tradisional, mereka udah gabungin teknologi sama pertanian. Hasilnya? Pertanian jadi sektor yang ‘berkelas’ dan ngasih cuan juga. Generasi Z di sana nggak malu lagi jadi petani. Soalnya, pemerintah mereka nggak setengah-setengah dalam bikin program pertanian. Ada bantuan alat, akses teknologi, bahkan edukasi soal bisnis pertanian. Jadi, mereka nggak cuma disuruh balik ke sawah, tapi juga dibimbing buat sukses di sana.
Ini bisa jadi pelajaran buat Indonesia, kalau pengen generasi muda nggak cuma fokus ngejar ketenaran di TikTok tapi juga lihat potensi besar di dunia pertanian. Kalau semua ini jalan, siapa tahu generasi muda kita bakal bangga jadi petani, tanpa harus teralihkan oleh tren media sosial.
Fenomena TikTok: Cerminan Isu yang Lebih Besar
Fenomena TikTok ini sebenernya bukan sekadar tren sementara. Ini tanda bahwa ada masalah yang lebih dalam di sektor pertanian kita. Dengan langkah yang tepat, kita bisa bikin generasi muda tertarik lagi ke sawah, bahkan mungkin ngeliat pertanian sebagai profesi keren yang punya masa depan cerah. Jadi, gimana menurut kalian—siap buat ‘nyelametin’ lahan hijau dari euforia digital?